Sunday, October 15, 2017

Desain Dalam Transformasi Kebudayaan

PENGAPLIKASIAN SANTUN DARI DUNIA VIRTUAL

Proses modernisasi dalam lingkup masayarakat Indonesia, merupakan tolak ukur kemajuan bagaimana sebuah bangsa mempunyai pemikiran untuk maju secara bertahap lalu berkembang menjadi masyarakat modern yang lebih besar. Budaya yang merupakan wujud interpretasi manusia sebagai jati diri bangsa Indonesia, dapat dipertahankan dan juga dirubah sejalan dengan sikap bagaimana perilaku manusia sebagai subyek dari hal tersebut. Pembentukan budaya membutuhkan sebuah penyangga yang kuat agar budaya pribumi mempunyai tempat untuk bisa membanggakan masyarakatnya sendiri dan secara sadar dapat diaplikasikan pada segi kehidupan sebagai bagian dari kepribadian yang telah terbentuk dari masa ke masa. Masyarakat Indonesia yang mempunyai ragam budaya yang banyak, mempunyai sebuah potensi untuk berkembang dengan pertimbangan cara yang lebih efektif agar dapat diikuti oleh generasi yang lebih muda atau baru, karena dalam perkembangannya, budaya tercipta karena adanya manusia, dan manusia adalah entitas yang merepresentasikan suatu zaman bagaimana mereka tumbuh menjadi insan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Budaya seringkali dikaitkan dengan masa lalu, karena melalui hal tersebut, manusia pada akhirnya menemukan dan mengevaluasi bagaimana kehidupan yang telah dilewati mempunyai proses untuk berubah ke arah yang lebih baik, dan mempertahankan budaya merupakan sebuah pedoman.


Hal tersebut sebenarnya terkesan sangat klise, mengingat budaya pribumi dengan gencar selalu berkiblat pada budaya barat yang notabene merupakan pelopor budaya modernisme. Dimana mereka muncul lebih dahulu dalam memaparkan konsep-konsepnya ke ruang lingkup yang sangat luas saat pertahanan budaya lokal masih berkutat di dalam lingkup yang lebih kecil untuk mengatur setiap suku bangsa. Budaya barat seringkali menjadi acuan utama dalam berbagai aspek kehidupan pribumi yang akan mengakibatkan menurunnya penghargaan terhadap budaya lokal itu sendiri sehingga terjadilah proses pelapukan sosial dimana kondisi masyarakat sebenarnya tidak dapat berkembang lagi karena telah diakomodasi dengan budaya luar yang lebih tersebar.


Akibat dari penerimaan budaya luar yang masuk ini adalah, bagaimana sebuah bangsa dengan mudah diantarkan menuju prinsip-prinsip modernisme. Prinsip tersebut menjadikan manusia tidak mempunyai identitas tersendiri karena modernisme mengontrol kebutuhan manusia dengan sebuah solusi yang diperuntukkan secara massal, sehingga setiap individu mempunyai solusi yang lebih praktikal dan harus berfungsi sesuai dengan bentuknya (form follow function). Peradaban yang diciptakan oleh barat ini terjadi dengan efektif mengingat mereka mendesak perubahan dengan dominasi yang mengeneralisasi konsep pembangunan dicapai dengan modernitas.


Budaya lokal yang pada dasarnya menjungjung tinggi keutuhan rasa berbangsa dan mempunyai jati diri akhirnya semakin menjauh mengikuti arus cepat teknologi dan informasi, dimana gaya hidup atau selera masyarakat pun berubah seiring adanya definisi persepsi bagi pencitraan yang mengakibatkan tuntutan untuk segera berubah. Dinamika perubahan ini sejalan dengan bagaimana budaya luar selalu memaparkan bagaimana budaya mereka itu berkembang yang sebenarnya tidak bisa dijalankan pula di negara lain khususnya Indonesia. Budaya luar yang telah lama menduduki sumber pengetahuan dalam konteks ilmu, jelas telah memberikan referensi-referensi pada beberapa unsur kehidupan yang secara signifikan telah menciptakan pemikiran dalam benak masyarakat lokal bahwa segala buatan barat adalah baik dan terpercaya.


Merujuk pada sejarah budaya timur, masyarakat Indonesia menaruh perhatian lebih dalam mengatur cara bertata krama berdasarkan adat suku bangsa yang mereka tempati. Sikap santun yang diturunkan dari para pendahulu, tetap diwariskan kepada generasi yang lebih muda agar pada proses berkomunikasi pada forum tertentu, manusia mengerti bagaimana cara atau proses yang harus dilakukan agar diharapkan tidak terjadinya distorsi dalam berkomunikasi. Dengan pertimbangan tersebut, maka dibutuhkanlah pembiasaan-pembiasaan yang muncul di ruang lingkup yang bersifat kecil untuk diaplikasikan di ruang lingkup yang lebih besar, dengan memasukkan prinsip-prinsip tersebut kepada proses acara kebudayaan atau produk budaya. Pada beberapa acara seremonial, yang bersifat sakral seperti dalam pernikahan, dimana terdapat aturan-aturan yang sebenarnya mereferensi dari unsur-unsur budaya lama.


          Objek yang bersifat aplikatif seperti konsep yang mendasari pembuatan rumah dari bagaimana pemilihan bahan, pembagian denah, cara masuk rumah. Secara tidak langsung ketidaksamaan usia, gender, silsilah persaudaraan, maupun pangkat diaplikasikan terhadap objek-objek budaya tersebut yang bertujuan untuk mengaplikasikan rasa saling menghormati kepada orang lain. Contohnya adalah bagaimana saat memasuki rumah adat Bali, tamu menundukkan kepalanya. Secara logis, tamu menundukkan kepalanya agar tidak terbentur pintu, namun pada dasarnya prinsip tersebut mengingatkan kepada masyarakat bahwa sebagai tamu kita harus “menghormati” kepada pemilik rumah.


Pada akhirnya, kebiasaaan-kebiasaan tersebut pun diaplikasikan di kehidupan dalam ruang lingkup yang lebih luas sebagaimana yang dilakukan pada ranah berbahasa. Suku-suku bangsa di Indonesia mengenal bagaimana perbedaan cara berkomunikasi sesuai dengan siapakah lawan bicara mereka. Hal ini sebenarnya mendasari bagaimana bangsa Indonesia tumbuh sebagai pribadi yang sesuai dengan tujuan diadakannya atau terciptanya sebuah budaya. Terjadilah pergeseran nilai-nilai budaya lokal yang terpengaruhi budaya barat yang secara kontinuitas merasuk pada aspek kebudayaan.


Seiring dengan perkembangan teknologi yang mempermudah manusia untuk saling berkomunikasi, jejaring sosial hadir sebagai medium baru untuk memberikan informasi tentang eksistensi manusia di dunia nyata dimanapun mereka berada. Jejaring sosial yang pada awalnya terbatas hanya untuk berkomunikasi, akhirnya berkembang dan didesain sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan pula dengan pola gaya hidup atau selera para pengguna yang sebagian besar cepat berubah. Terjadilah hegemoni pada bangsa lokal dengan beberapa gejala perubahan yaitu bagaimana budaya berkomunikasi kepada orang yang lebih tua sepertinya mulai ditinggalkan.


Dalam aplikasi jejaring sosial, hubungan antara pengguna dianggap sama, mengikuti sistem silaturahmi di budaya barat dimana antara orang yang lebih muda dan tua diperbolehkan memanggil nama asli atau panggilan dalam forum yang formal maupun informal. Desain dalam aplikasi tersebut mengerucutkan proses dalam melakukan silaturahmi menjadi lebih praktis dengan sekali tombol untuk memberikan pernyataan ‘berteman’ atau ‘tidak berteman’. Dalam hal ini, desain bersinergi dengan budaya barat sehingga diterapkan pada aplikasi media yang digunakan bagi seluruh masyarakat di dunia yang lingkupnya lebih luas. Secara tidak langsung, desain telah merubah perilaku pengguna dan menggeser perilaku pada dunia nyata. 


Dalam melakukan tatap muka, para pengguna lebih nyaman berkomunikasi lewat media jejaring sosial dibandingkan tatap muka. Hal ini dianggap aman karena lawan bicara tidak melihat secara langsung apa yang dirasakan saat menulis teks pada layar dimana masalah seperti pengunaan bahasa, pemilihan kata dapat dilewati melalui proses yang berkali-kali. Dalam dunia virtual, pengguna hanya bertatapan dengan layar atau tembok (wall) yang mengurangi nilai presentasi, yang menyebabkan pengguna dalam menjadi seorang komunikator yang hanya dapat berkomunikasi dengan maksimal jika tidak bertatapan. Hal ini deisebabkan karena dalam berkomunikasi pertimbangan adanya kesiapan, rasa kekhawatiran, dan rasa waspada dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Maka mereka lebih memilih menunduk kepada layar daripada menunduk untuk menghormati orang lain.


Dengan terbiasanya mengasah kemampuan berkomunikasi pada dunia virtual, dalam dunia nyata hal tersebut diaplikasikan dengan menempatkan dirinya berbeda antara di dunia virtual, yang lebih fleksibel dalam mengungkapan pesan lewat padanan kata-kata dan terkesan lebih informal dan lebih banyak menghidari komunikasi dalam dunia nyata yang sebenarnya dapat melebihi kapasitas yang didapat di dunia virtual. 

 
(Menunduk untuk berkomunikasi menggunakan smartphone)   
 
Adapun cara berkomuniasi yang seringkali tidak memperhatikan forum, karena dalam jejaring sosial hal-hal yang diutarakan secara serius atau bercanda mempunyai konteks yang sangat kabur. Seringkali perbedaan dunia virtual dan dunia nyata ini dianggap sama karena pada desain yang telah dirancang aplikasi pun dibuat dengan mempertimbangkan kepraktisan yang menjadikan mereka menambah cara berkomunikasi yang lebih rumit. Akhirnya desain grafis disamping fungsinya yang netral sebagai penyampai informasi, juga dipergunakan untuk mempengaruhi pikiran manusia lainnya.
 
 
(Menunduk untuk mencium tangan orang tua yang lebih tua)
 
Teknologi berusaha untuk merancang solusi untuk manusia agar dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan cepat. Seiring komunikasi yang kian cepat, sehingga pengguna pun ingin mendapatkan timbal balik yang cepat pula dari orang lain. Dampaknya adalah masyarakat mengidahkan proses bagaimana cara berbicara yang tepat sesuai dengan forumnya, kurangnya pengertian bahwa setiap orang mempunyai penanganan atau gaya bicara yang berbeda, serta keterlibatan pengguna yang dituntut agar mempunyai fleksibilitas dimana pun mereka berada untuk dapat melakukan aktifitas komunikasi. Penyediaan media jejaring sosial ini menjadikan satu pemahaman dalam benak pengguna bahwa dalam satu media, pengguna dapat melakukan kegiatan yang berbeda-beda sehingga setiap individu telah terbiasa mendapatkan sesuatu yang instan.

Selain berdampak pada efektifitas dalam berkomunikasi, bila ditelaah secara konsep, aplikasi jejaring sosial mempunyai kesamaan dalam tujuannya agar dapat mempublikasikan eksistensi penggunanya. Dengan menggunakan beberapa fitur yang sangat memanjakan penggunanya, sistem komunikasi di dunia virtual akhirnya menjadi standar gaya hidup dan menjadi sebuah pola tingkah laku yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada dunia nyata. Aplikasi yang bernama Instagram, Foursquare, Path didesain untuk menjadikan seseorang mampu untuk mempublikasikan citra yang mereka bentuk dari pesan visual yang diunggah agar mendapatkan apresiasi dari pengguna lain. Para pengguna tersebut akhirnya terbiasa untuk memaparkan citra mereka yang hanya terlihat hanya pada layar dimana citra bukan lagi sarana tetapi menjadi tujuan.

 
Desain diposisikan sebagai pembentuk citra yang mampu memperkuat pandangan orang lain terhadap dirinya, sehingga citra muncul dari pendapat-pendapat yang juga lahir dari pendefinisian elemen-elemen informasi, contohnya bagaimana kegiatan harian mereka, dimana mereka berada, dan apa yang mereka ingin tunjukkan. Hal ini berdampak pada budaya individualistis, karena pencitraan merubah tingkah laku dan budaya masyarakat yang seharusnya berpikir terhadap hal-hal yang bersifat jangka panjang demi kebaikan bersama (tenggang rasa, tepa selira) menjadi hal-hal yang mempunyai sifat keseketikaan (instanticity) setiap individu, dimana rasa kebangaan mereka diukur dari saat ada yang memperhatikan atau tidak. Sehingga pada dunia nyata, mengakibatkan rasa santun yang telah terkontaminasi dari kebiasaan aplikasi pertemanan di dunia virtual menjadikan manusia menganggap semua sama dan hanya dianggap sebagai “pemerhati” pengguna saja. Dan juga mengakibatkan rasa sikap tak acuh pada orang lain karena terbentuknya manusia yang hanya berkonsentrasi pada bagaimana penampilan dirinya di dunia virtual.