PENGAPLIKASIAN SANTUN
DARI DUNIA VIRTUAL
Proses modernisasi dalam lingkup
masayarakat Indonesia, merupakan tolak ukur kemajuan bagaimana sebuah bangsa
mempunyai pemikiran untuk maju secara bertahap lalu berkembang menjadi
masyarakat modern yang lebih besar. Budaya yang merupakan wujud interpretasi
manusia sebagai jati diri bangsa Indonesia, dapat dipertahankan dan juga
dirubah sejalan dengan sikap bagaimana perilaku manusia sebagai subyek dari hal
tersebut. Pembentukan budaya membutuhkan sebuah penyangga yang kuat agar budaya
pribumi mempunyai tempat untuk bisa membanggakan masyarakatnya sendiri dan
secara sadar dapat diaplikasikan pada segi kehidupan sebagai bagian dari
kepribadian yang telah terbentuk dari masa ke masa. Masyarakat Indonesia yang
mempunyai ragam budaya yang banyak, mempunyai sebuah potensi untuk berkembang
dengan pertimbangan cara yang lebih efektif agar dapat diikuti oleh generasi
yang lebih muda atau baru, karena dalam perkembangannya, budaya tercipta karena
adanya manusia, dan manusia adalah entitas yang merepresentasikan suatu zaman
bagaimana mereka tumbuh menjadi insan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
Budaya seringkali dikaitkan dengan masa lalu, karena melalui hal tersebut,
manusia pada akhirnya menemukan dan mengevaluasi bagaimana kehidupan yang telah
dilewati mempunyai proses untuk berubah ke arah yang lebih baik, dan
mempertahankan budaya merupakan sebuah pedoman.
Hal tersebut sebenarnya terkesan
sangat klise, mengingat budaya pribumi dengan gencar selalu berkiblat pada
budaya barat yang notabene merupakan pelopor budaya modernisme. Dimana mereka
muncul lebih dahulu dalam memaparkan konsep-konsepnya ke ruang lingkup yang
sangat luas saat pertahanan budaya lokal masih berkutat di dalam lingkup yang
lebih kecil untuk mengatur setiap suku bangsa. Budaya barat seringkali menjadi
acuan utama dalam berbagai aspek kehidupan pribumi yang akan mengakibatkan
menurunnya penghargaan terhadap budaya lokal itu sendiri sehingga terjadilah
proses pelapukan sosial dimana kondisi masyarakat sebenarnya tidak dapat
berkembang lagi karena telah diakomodasi dengan budaya luar yang lebih tersebar.
Akibat dari penerimaan budaya luar
yang masuk ini adalah, bagaimana sebuah bangsa dengan mudah diantarkan menuju
prinsip-prinsip modernisme. Prinsip tersebut menjadikan manusia tidak mempunyai
identitas tersendiri karena modernisme mengontrol kebutuhan manusia dengan
sebuah solusi yang diperuntukkan secara massal, sehingga setiap individu
mempunyai solusi yang lebih praktikal dan harus berfungsi sesuai dengan
bentuknya (form follow function). Peradaban yang diciptakan oleh barat ini
terjadi dengan efektif mengingat mereka mendesak perubahan dengan dominasi yang
mengeneralisasi konsep pembangunan dicapai dengan modernitas.
Budaya lokal yang pada dasarnya
menjungjung tinggi keutuhan rasa berbangsa dan mempunyai jati diri akhirnya
semakin menjauh mengikuti arus cepat teknologi dan informasi, dimana gaya hidup
atau selera masyarakat pun berubah seiring adanya definisi persepsi bagi
pencitraan yang mengakibatkan tuntutan untuk segera berubah. Dinamika perubahan
ini sejalan dengan bagaimana budaya luar selalu memaparkan bagaimana budaya
mereka itu berkembang yang sebenarnya tidak bisa dijalankan pula di negara lain
khususnya Indonesia. Budaya luar yang telah lama menduduki sumber pengetahuan dalam
konteks ilmu, jelas telah memberikan referensi-referensi pada beberapa unsur
kehidupan yang secara signifikan telah menciptakan pemikiran dalam benak
masyarakat lokal bahwa segala buatan barat adalah baik dan terpercaya.
Merujuk pada sejarah budaya timur,
masyarakat Indonesia menaruh perhatian lebih dalam mengatur cara bertata krama
berdasarkan adat suku bangsa yang mereka tempati. Sikap santun yang diturunkan
dari para pendahulu, tetap diwariskan kepada generasi yang lebih muda agar pada
proses berkomunikasi pada forum tertentu, manusia mengerti bagaimana cara atau
proses yang harus dilakukan agar diharapkan tidak terjadinya distorsi dalam
berkomunikasi. Dengan pertimbangan tersebut, maka dibutuhkanlah
pembiasaan-pembiasaan yang muncul di ruang lingkup yang bersifat kecil untuk
diaplikasikan di ruang lingkup yang lebih besar, dengan memasukkan
prinsip-prinsip tersebut kepada proses acara kebudayaan atau produk budaya.
Pada beberapa acara seremonial, yang bersifat sakral seperti dalam pernikahan,
dimana terdapat aturan-aturan yang sebenarnya mereferensi dari unsur-unsur
budaya lama.
Pada akhirnya, kebiasaaan-kebiasaan
tersebut pun diaplikasikan di kehidupan dalam ruang lingkup yang lebih luas
sebagaimana yang dilakukan pada ranah berbahasa. Suku-suku bangsa di Indonesia
mengenal bagaimana perbedaan cara berkomunikasi sesuai dengan siapakah lawan
bicara mereka. Hal ini sebenarnya mendasari bagaimana bangsa Indonesia tumbuh
sebagai pribadi yang sesuai dengan tujuan diadakannya atau terciptanya sebuah
budaya. Terjadilah pergeseran nilai-nilai budaya lokal yang terpengaruhi budaya
barat yang secara kontinuitas merasuk pada aspek kebudayaan.
Seiring
dengan perkembangan teknologi yang mempermudah manusia untuk saling
berkomunikasi, jejaring sosial hadir sebagai medium baru untuk memberikan
informasi tentang eksistensi manusia di dunia nyata dimanapun mereka berada. Jejaring
sosial yang pada awalnya terbatas hanya untuk berkomunikasi, akhirnya
berkembang dan didesain sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan pula dengan
pola gaya hidup atau selera para pengguna yang sebagian besar cepat berubah.
Terjadilah hegemoni pada bangsa lokal dengan beberapa gejala perubahan yaitu
bagaimana budaya berkomunikasi kepada orang yang lebih tua sepertinya mulai
ditinggalkan.
Dalam aplikasi jejaring sosial, hubungan antara
pengguna dianggap sama, mengikuti sistem silaturahmi di budaya barat dimana
antara orang yang lebih muda dan tua diperbolehkan memanggil nama asli atau
panggilan dalam forum yang formal maupun informal. Desain dalam aplikasi
tersebut mengerucutkan proses dalam melakukan silaturahmi menjadi lebih praktis
dengan sekali tombol untuk memberikan pernyataan ‘berteman’ atau ‘tidak
berteman’. Dalam hal ini, desain bersinergi dengan budaya barat sehingga
diterapkan pada aplikasi media yang digunakan bagi seluruh masyarakat di dunia
yang lingkupnya lebih luas. Secara tidak langsung, desain telah merubah
perilaku pengguna dan menggeser perilaku pada dunia nyata.
Dalam
melakukan tatap muka, para pengguna lebih nyaman berkomunikasi lewat media jejaring
sosial dibandingkan tatap muka. Hal ini dianggap aman karena lawan bicara tidak
melihat secara langsung apa yang dirasakan saat menulis teks pada layar dimana
masalah seperti pengunaan bahasa, pemilihan kata dapat dilewati melalui proses
yang berkali-kali. Dalam dunia virtual, pengguna hanya bertatapan dengan layar
atau tembok (wall) yang mengurangi nilai presentasi, yang menyebabkan pengguna
dalam menjadi seorang komunikator yang hanya dapat berkomunikasi dengan
maksimal jika tidak bertatapan. Hal ini deisebabkan karena dalam berkomunikasi
pertimbangan adanya kesiapan, rasa kekhawatiran, dan rasa waspada dalam
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Maka mereka lebih memilih menunduk
kepada layar daripada menunduk untuk menghormati orang lain.
Dengan
terbiasanya mengasah kemampuan berkomunikasi pada dunia virtual, dalam dunia
nyata hal tersebut diaplikasikan dengan menempatkan dirinya berbeda antara di
dunia virtual, yang lebih fleksibel dalam mengungkapan pesan lewat padanan
kata-kata dan terkesan lebih informal dan lebih banyak menghidari komunikasi
dalam dunia nyata yang sebenarnya dapat melebihi kapasitas yang didapat di
dunia virtual.
(Menunduk untuk berkomunikasi menggunakan smartphone)
(Menunduk untuk berkomunikasi menggunakan smartphone)
Adapun cara berkomuniasi yang
seringkali tidak memperhatikan forum, karena dalam jejaring sosial hal-hal yang
diutarakan secara serius atau bercanda mempunyai konteks yang sangat kabur.
Seringkali perbedaan dunia virtual dan dunia nyata ini dianggap sama karena
pada desain yang telah dirancang aplikasi pun dibuat dengan mempertimbangkan
kepraktisan yang menjadikan mereka menambah cara berkomunikasi yang lebih
rumit. Akhirnya desain grafis disamping fungsinya yang netral sebagai penyampai
informasi, juga dipergunakan untuk mempengaruhi pikiran manusia lainnya.
(Menunduk untuk mencium tangan orang tua
yang lebih tua)
Teknologi berusaha untuk merancang solusi untuk
manusia agar dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan cepat. Seiring komunikasi
yang kian cepat, sehingga pengguna pun ingin mendapatkan timbal balik yang
cepat pula dari orang lain. Dampaknya adalah masyarakat mengidahkan proses
bagaimana cara berbicara yang tepat sesuai dengan forumnya, kurangnya
pengertian bahwa setiap orang mempunyai penanganan atau gaya bicara yang
berbeda, serta keterlibatan pengguna yang dituntut agar mempunyai fleksibilitas
dimana pun mereka berada untuk dapat melakukan aktifitas komunikasi. Penyediaan
media jejaring sosial ini menjadikan satu pemahaman dalam benak pengguna bahwa
dalam satu media, pengguna dapat melakukan kegiatan yang berbeda-beda sehingga
setiap individu telah terbiasa mendapatkan sesuatu yang instan.
Selain berdampak pada efektifitas
dalam berkomunikasi, bila ditelaah secara konsep, aplikasi jejaring sosial
mempunyai kesamaan dalam tujuannya agar dapat mempublikasikan eksistensi
penggunanya. Dengan menggunakan beberapa fitur yang sangat memanjakan
penggunanya, sistem komunikasi di dunia virtual akhirnya menjadi standar gaya
hidup dan menjadi sebuah pola tingkah laku yang secara langsung atau tidak
langsung berdampak pada dunia nyata. Aplikasi yang bernama Instagram,
Foursquare, Path didesain untuk menjadikan seseorang mampu untuk
mempublikasikan citra yang mereka bentuk dari pesan visual yang diunggah agar
mendapatkan apresiasi dari pengguna lain. Para pengguna tersebut akhirnya
terbiasa untuk memaparkan citra mereka yang hanya terlihat hanya pada layar
dimana citra bukan lagi sarana tetapi menjadi tujuan.
Desain diposisikan
sebagai pembentuk citra yang mampu memperkuat pandangan orang lain terhadap
dirinya, sehingga citra muncul dari pendapat-pendapat yang juga lahir dari
pendefinisian elemen-elemen informasi, contohnya bagaimana kegiatan harian
mereka, dimana mereka berada, dan apa yang mereka ingin tunjukkan. Hal ini
berdampak pada budaya individualistis, karena pencitraan merubah tingkah laku
dan budaya masyarakat yang seharusnya berpikir terhadap hal-hal yang bersifat jangka
panjang demi kebaikan bersama (tenggang rasa, tepa selira) menjadi hal-hal yang
mempunyai sifat keseketikaan (instanticity) setiap individu, dimana rasa
kebangaan mereka diukur dari saat ada yang memperhatikan atau tidak. Sehingga
pada dunia nyata, mengakibatkan rasa santun yang telah terkontaminasi dari
kebiasaan aplikasi pertemanan di dunia virtual menjadikan manusia menganggap
semua sama dan hanya dianggap sebagai “pemerhati” pengguna saja. Dan juga
mengakibatkan rasa sikap tak acuh pada orang lain karena terbentuknya manusia
yang hanya berkonsentrasi pada bagaimana penampilan dirinya di dunia virtual.